Kebahagiaan
didamba setiap orang. Tidak ada orang yang tidak ingin hidupnya bahagia. Semua
berusaha keras agar hidupnya bahagia. Tetapi apa sesungguhnya sumber
kebahagiaan itu? Jawaban atas pertanyaan ini ternyata sangat beragam. Ada orang
yang melihatnya pada tumpukan harta yang melimpah. Orang yang mengukur
kebahagiaan dari harta benda akan berusaha keras mengejar dan mencari harta
sebanyak-banyaknya. Mereka mengira kebahagiaan terletak pada kekayaan,
kesenangan hidup, kelimpahan harta dan tercukupinya segala kebutuhan materi.
Apakah ketika harta telah melimpah, kebahagiaan hidup akan mereka raih?
Nampaknya, kebanyakan manusia mencari kebahagiaan bukan pada
tempatnya. Mereka ibarat kembalinya orang yang mencari mutiara di padang
sahara; kembali dengan tangan kosong, badan lelah, jiwa tersiksa dan harapan
terputus.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzî,
dikatakan: Barangsiapa akhirat menjadi tujuannya maka Allah akan menjadikan
kekayaan dalam hatinya, mengumpulkan kekuatan baginya dan dunia akan datang
kepadanya dengan mudah. Dan barangsiapa dunia menjadi tujuannya maka Allah akan
menjadikan kemiskinan di hadapan matanya, melemahkan kekuatannya dan dunia
tidak datang kepadanya kecuali apa yang telah ditetapkan baginya. Pecinta dunia akan selalu ditemani tiga hal: keinginan yang
tiada henti, rasa lelah yang tak pernah sirna, dan kesedihan yang tak pernah
reda. Dalam sebuah hadis disebutkan: ”Seandainya seseorang memiliki dua lembah
emas, pasti dia akan mencari yang ketiga.” Kebahagiaan bukan terletak pada gelimangan harta, tingginya
jabatan, banyaknya keturunan, atau diraihnya keuntungan materi. Kebahagiaan
adalah sesuatu yang bersifat maknawi; tidak terlihat oleh mata, tidak dapat
ditimbang dengan timbangan, tidak dapat disimpan dalam gudang, dan tidak dapat
dibeli dengan uang. Kebahagiaan adalah sesuatu yang dirasakan seseorang dalam dirinya
berupa kebeningan jiwa, kedamaian hati, kelapangan dada dan ketenangan nurani.
Kebahagiaan tumbuh dari dalam diri manusia, tidak didatangkan dari luar
dirinya.
Memang tidak dapat disangkal bahwa aspek materi memiliki andil
dalam mewujudkan kebahagiaan hidup. Rasul Saw. sendiri pernah bersabda: ”Di
antara kebahagiaan anak Adam adalah istri salehah, tempat tinggal yang layak,
dan kendaraan yang layak”(HR Ahmad). Namun andil ini bukan yang utama dan tidak
besar. Yang jadi ukuran pada aspek ini adalah al-kayf (kualitas), bukan al-kam
(kuantitas). Cukuplah menjadi kebahagiaan bagi seseorang apabila dalam hidupnya
ia terbebas dari kesempitan-kesempitan materi yang menyesakkan dada, seperti
istri yang durhaka, tempat tinggal dan kendaraan yang tidak layak; dan
dikaruniai rasa aman, kesehatan serta dimudahkan mendapatkan bahan pangan.
Betapa indah dan benar hadis Nabi yang mengatakan: ”Barangsiapa bangun pagi
dalam keadaan tenang jiwanya, sehat badannya, dan memiliki bahan pangan yang
mencukupi harinya, maka seakan-akan dunia beserta isinya adalah miliknya”(HR
al-Bukhârî).
Jika jiwa dan hati merupakan lahan tempat tumbuh pohon
kebahagiaan, maka iman kepada Allah dan hari akhir merupakan air, pupuk, udara
dan cahaya yang dibutuhkan bagi pertumbuhan dan kehidupan pohon itu. Iman
memancarkan sumber-sumber mata air kebahagiaan dalam hati. Tidak akan terwujud
kebahagiaan tanpa sumber-sumber mata air itu, yaitu ketenangan, kedamaian,
harapan, keridhaan, dan cinta.
* DR. H. Abad Badruzzaman